Published On:Monday, January 26, 2015
Posted by Unknown
Rapor merah Jokowi soal Papua
Freeport Indonesia mendapat izin melanjutkan ekspor mineral mentah. Pemerintah dan raksasa tambang AS itu juga sepakat lanjutkan pembahasan MoU. Kepentingan bisnis lebih kental dibanding penegakan HAM di Papua.
Ketika banyak perhatian tertuju ke gerakan #SaveKPK, banyak yang luput memperhatikan bagaimana perusahaan tambang, PT Freeport Indonesia, berhasil lolos (lagi) dari larangan ekspor mineral. Hari ini (25/1), adalah batas akhir jaminan bahwa raksasa pertambangan yang beroperasi di Timika, Papua, itu mampu membangun smelter, yakni industri pemurnian dan pengolahan mineral.
“Kemarin mereka sudah mendapatkan kerjasama pembangunan smelter dengan PT Petrokimia Gresik. Jadi, Freeport bisa melanjutkan ekspor mineralnya,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, saat saya kontak Minggu siang (25/1). Batas waktu selesainya pembangunan smelter adalah 2017.
Tahun lalu, Freeport diberikan izin ekspor bahan tambang mentahnya. Padahal, dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara, mulai 14 Januari 2014 ekspor bahan tambang mentah dilarang. Dampak larangan ini, semua perusahaan harus membangun smelter di dalam negeri. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keringanan bagi Freeport melalui memorandum of understanding(MoU) yang isinya antara lain bukti kesungguhan membangun smelter di dalam negeri.
MoU seperti ini juga berlaku untuk industri pertambangan lain. Alasan pihak industri saat itu, mereka bisa mati tanpa ekspor. Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia sempat menggugat UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. MK menolak gugatan ini. Larangan ekspor mineral mentah, menurut MK, wajar dilakukan untuk melindungi sumber daya alam.
Batas MoU untuk Freport adalah kemarin, 24 Januari 2015. Saat rapat kerja di DPR pekan ini, Menteri Sudirman Said menunjukkan kekesalannya karena Freeport lambat memenuhi janjinya membangun smelter. "Kalau sampai tanggal 25 Januari 2015 tidak ada progres pembangunan smelter, ya, kita harus hentikan izin ekspornya," ujar Sudirman di Senayan, Jakarta, Kamis (22/1).
Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, mengatakan pihaknya sudah mendapatkan lahan seluas 60 hektar di Gresik. Maroef, mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara ini mengakui Freeport lambat membangun. Maroef, adik mantan menteri pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin itu baru menjabat posisi bos tertinggi bisnis Freeport di Indonesia, pekan lalu. Perwira tinggi TNI AU ini mengatakan, dirinya sudah mendorong agar pegawai Freeport mempercepat proses pembuatan smelter ini.
Melanjutkan ekspor mineral adalah salah satu sukses Freeport lolos dari tenggat waktu. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM dan PT Freeport juga sepakat memperpanjang pembahasan amandemen kontrak hingga enam bulan ke depan. Di dalam MoU, ada berbagai hal termasuk soal royalti, penciutan lahan, pajak sampai divestasi. Kewajiban pembangunan smelter dimasukkan dalam MoU. Pemerintah beralasan ingin menambah benefit bagi rakyat Papua.
Freeport di bawah rejim Jokowi
Rejim berganti, pemerintahan berganti, belum pernah Freeport kehilangan cara untuk tetap menjalankan bisnis lukratifnya di bumi Papua. Prof Sadli, ekonom di era Presiden Soeharto, mengatakan saat kontrak karya pertama diteken tahun 1967, pemerintah yang belum berpengalaman menjadikan itu sebagai momentum menunjukkan keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing. Kontrak generasi pertama memberikan peluang pesta pora bagi Freeport, mengeduk kekayaan tambang dari perut bumi Kepala Burung.
Urusan Freeport selalu melibatkan kroni penguasa. Dalam buku Freeport and The Soeharto Regime, yang ditulis Denise Leith, digambarkan elit pemerintah dan swasta yang pernah ikut menikmati bisnis Freeport. Dari Bob Hasan, Abdul Latief hingga Aburizal Bakrie. Terjadi kala Soeharto dan Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. Buku itu juga menyinggung proposal bisnis pengolahan limbah Freeport oleh perusahaan yang terkait keluarga Ginandjar. Ini dibantah.
Perpanjangan pembahasan MoU Freeport yang diberikan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ini perlu revolusi mental dalam bentuk transparansi isi kontrak sehingga bisa diketahui publik. Urusan bisnis mega tambang andalan Freeport Mc oran, induk perusahaan yang bermarkas di New Orleans, AS, dan dikenal sebagai bisnis dengan koneksi kuat ke elit pemerintahan dan militer itu, selalu menjadi barometer kebijakan pro rakyat setiap rejim yang berkuasa di Indonesia.
5 janji Jokowi untuk Papua
Saat kampanye pemilihan presiden di Papua, Juni 2014, Jokowi meluncurkan lima janji untuk Papua, jika dia terpilih sebagai presiden. Papua dipilih sebagai tempat Jokowi melakukan kampanye perdana. Ditemani istrinya, Iriana, Jokowi menuju Kampung Yoka. Di sana, dia menyampaikan janjinya.
Pertama, menyejahterakan tentara dan guru di perbatasan.
Kedua, Jokowi berjanji menangani masalah pengangguran.
Jokowi mengaku prihatin sumber daya alam di Papua tidak dikelola dengan baik, bahkan dikelola asing, sehingga rakyat belum menikmati kesejahteraan. “Kita mau agar sumber daya alam dikerjakan dan dikelola di sini, pabriknya dibuat di sini, uangnya mutar di sini, masyarakat Papua sejahtera,” kata Jokowi.
Ketiga, Jokowi berjanji mengentaskan konflik di Papua.
“Kuncinya ada pada komunikasi. Kalau pemimpinnya kerap mengunjungi masyarakatnya, maka akan ada dialog,” kata dia. Jokowi berjanji berkunjung ke Papua tiga kali dalam setahun.
Keempat, Jokowi berjanji bangun tol laut sampai ke Papua.
“Kalau sekarang semen di Jawa 50 ribu, di Papua bisa satu juta. Kenapa? Karena ongkos angkutnya. Dengan tol laut bisa diatasi,” kata Jokowi.
Janji kelima, Jokowi akan renegosiasi dengan perusahaan asing di Papua.
“Yang namanya kontrak mesti tetap kita hormati, saya tidak sampaikan nama perusahaannya. Sekali kita tidak hormati kontrak kita tidak dipercayai siapapun,” kata Jokowi. Semua tahu jika bicara Papua dan renegosiasi kontrak asing, itu merujuk ke bisnis Freeport Indonesia. Bisnis tambang Newmont di Sumbawa.
Kesampingkan HAM di Papua
Urusan rejim penguasa dengan Papua tidak hanya soal Freeport. Yang selalu jadi sorotan adalah masalah penegakan hak asasi manusia. Papua menjadi satu-satunya lokasi di Indonesia yang belum sepenuhnya terbuka bagi wartawan asing. Pemerintah pusat dan aparat menganggap Papua belum sepenuhnya aman dari konflik bersenjata dan tindak kekerasan.
Tahun baru ini, tepat di hari pertama, tiga orang yang tengah berpatroli di kawasan Freeport tewas dibacok orang tidak dikenal. Dua dari tiga korban yang tewas pada 1 Januari 2015 itu adalah anggota Brigade Mobil Kepolisian. Mereka adalah Brigadir Dua Riyan Hariansyah, 22 tahun, dan Brigadir Dua M. Adpriadi, 22 tahun.
Riyan dibacok dan ditembak di beberapa bagian tubuhnya sedangkan Adpriadi tewas akibat dibacok. Satu korban lain adalah Suko Miartono, 33 tahun adalah anggota sekuriti Freeport.
Ketiganya tewas hanya berselang tiga hari setelah kehadiran Presiden Jokowi di Papua untuk merayakan Natal bersama. Jokowi ada di sana tanggal 27-28 Desember 2014. Rencana kehadiran Jokowi di Papua sempat disambut kontroversi. Warga Papua kecewa karena Jokowi tak melakukan tindakan jelas, bahkan membisu atas aksi brutal yang dikenal sebagai Tragedi Paniai, 8 Desember 2014. Empat warga sipil Papua tewas dan 21 lainnya luka-luka saat terjadi bentrokan antara penduduk lokal dan petugas di Enarotali, Paniai, Papua. Kado Natal yang pahit bagi warga Papua, dan terjadi hanya dua hari sebelum 10 Desember yang diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan Jokowi sengaja tidak membuat pernyataan tentang kekerasan di Paniai, seraya menunggu investigasi lengkap TNI, Polri dan tim independen. Jokowi, kata Andi, sudah menerima tiga laporan kasus Paniai daru Sinode Kemah Injil Papua, Komisi Nasional Perempuan dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia.
“Ada indikasi aparat melakukan tindakan di luar komando,” ujar Seskab Andi. Laporan awal yang diterima pemerintah juga mengindikasikan senjata dan amunisi yang menewaskan warga juga berasal dari milik TNI/Polri. Andi mengatakan, mungkin Jokowi akan mengambil sikap setelah berkunjung ke Papua dan bertemu warga di sana.
Nyatanya, saat Natalan di Papua, Jokowi membisu soal Paniai Berdarah. Ini berita Rappler Indonesia soal kunjungan Jokowi di Papua.
Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan bahwa pihaknya mengalami kesulitan mengusut kasus bentrok yang berujung tewasnya anak-anak murid sekolah menengah di Paniai itu. Kasus ini menambah daftar panjang korban jatuh di pihak sipil maupun aparat di bumi Cendrawasih. Sebagian besar kasus tak tentu rimbanya.
Ironisnya, salah satu resep yang diterapkan Jokowi adalah rencana mendirikan komando daerah militer yang baru di Papua. Jokowi akan mendirikan kodam baru juga di Manado, Sulawesi Utara.
Menurut direktur eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, rencana Jokowi bertentangan dengan reformasi TNI. Imparsial menolak pembentukan komando teritorial karena ini bernuansa ingin mengembalikan peran militer seperti di era Orde Baru. Masyarakat sipil menyerukan perlunya pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM sesuai UU HAM No 3/1999.
Pernyataan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bisa dibaca di sini.
Implementasi pembentukan KPP HAM dan pengusutan tuntas Tragedi Paniai menjadi barometer keseriusan Presiden Jokowi menegakkan HAM, sebagaimana janji kampanye dan Nawa Cita. Untuk Papua, dalam 100 hari pertama, Jokowi dapat rapor merah.
Urusan bisnis dengan Freeport nampaknya lebih menarik diurusi ketimbang menangkap siapa yang membunuh Yulian Yeimo Lakis, Andreas Dogopia, Yulian Mote, dan Yulius Tobay. —Rappler.com
Sumber : www.rappler.com