Headlines

NGO claims mixed results on Jakarta's Papua media policy

Posted by Unknown | Tuesday, November 17, 2015 | Posted in , , , , ,

The Governor of Papua Province,Lukas Enembe, (far left), 
welcomes the Indonesian President Joko Widodo.
Human Rights Watch says Indonesia's new policy on foreign media access to West Papua has had mixed results.
It's six months since President Joko Widodo announced that restrictions on foreign journalists visiting Papua were being lifted.
While a handful of foreign journalists have visited, HRW says there is extremely uneven implementation of Jokowi's policy.
HRW Asia's deputy director Phelim Kine says that within elements of Indonesia's government and security forces, there remains severe resistance to allowing access to Papua.
"It's going to be a long-term process to bring those elements of the government and security agencies who have implemented these restrictions over more than a quarter of a century to step back and to allow foreign media to actually allow foreign media to actually have that unimpeded access that President Joko Widodo - to his credit - has announced should be the case."
Phelim Kine says foreign NGOs, UN rights experts and academics remain restricted from visiting Papua.
HRW is today releasing a new report, "Something to Hide? Indonesia's Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua", which also documents regular self-censorship by journalists based in Papua and the security forces' manipulation of local media outlets.
Mr Phelim Kine says the president's announcement in May was welcome but has been very unevenly applied.
He says it's important that president Widodo send an explicit directive on the policy for all Indonesian security agencies and ministries to follow.
"The absense of that document in a bureaucratic system provides wide wiggle room for bureaucrats to not let people go to Papua. The second thing - and this is hugely important - the government needs to lift its restrictions on access to Papua by international non-government organisations, UN experts and foreign academics."



Two Indonesian soldiers convicted for Papuan deaths

Posted by Unknown | | Posted in , , , , ,

Two Indonesian soldiers have been convicted and imprisoned for their role in the deaths of two Papuans in Mimika in August.

Jayapura port, Papua 
The Jakarta Post reports that the court sentenced Makher Rehatta and Gregorius R. Geta to prison terms of 12 years and three years respectively for murder and aggravated assault.
Two other soldiers are still on trial for their role in the incident in which the four soldiers, who were allegedly drunk, opened fire with assault rifles on a group of Papuans who were holding a local Thanksgiving ceremony in front of a church in Mimika regency.
Human Rights Watch has welcomed the conviction as a rare example of accountability over military abuses in Papua.
However the NGO says it's only a start, since there are many other military abuses which have not been investigated.
In the rare cases where soldiers have been convicted by a military court, the sentences have been extremely lenient.

Sumber : http://www.radionz.co.nz

Pacific News Minute: Unrest in West Papua After Police Shooting

Posted by Unknown | Thursday, October 1, 2015 | Posted in , , , , , , ,

Credit Wikipedia Commons
Protests in West Papua this week, after Indonesian Police shot two 17 year old boys - one of whom died. This is the fifth time this year that civilians have been fired on by soldiers or police in the restive province, with now eight reported killed.  We have more from Neal Conan in the Pacific News Minute.
According to reports, Indonesian police pursued two seventeen year old high school students near a market on Monday and opened fire.  Kaleb Bogau was hit in the chest and died on the scene.  Efrando Sabarofek was wounded in the chest and leg and was reported in critical condition.  As yet, there's been no public statement by police, but Kaleb Bogau's family described the shooting as a political assassination and reportedly refused an apology sent by text message from Paulus Waterpau, the regional chief of police.

The dead boy's father, the Reverend Obed Bogau, is active in a West Papuan independence group. Reports say he asked police to investigate both this case and an incident last month in the same area:  Timika, when soldiers fired into a group of ethnic Kamoros at a traditional celebration and killed two.  Shortly afterwards, an Indonesian Military Spokesman said the soldiers had been attacked by a mob and fired in self-defense, but the Regional commander, Brigadier General Supartidi, told the Jakarta Post that two officers were drunk when they fired into the crowd and had been arrested.

Last month, West Papuan activists appealed to the Pacific Islands Forum to send a team into West Papua to investigate human rights abuses.  The Indonesian representative bluntly told the Forum to "stay out of our business, and not to meddle in the internal affairs of a sovereign state".  There was no move to establish a fact finding mission.

Sumber : http://hpr2.org

Sekian Lama Bungkam untuk Papua, Masyarakat Pasifik Minta Maaf

Posted by Unknown | Monday, September 7, 2015 | Posted in , , , , , ,

Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) - Jubi
Jayapura, Jubi – Pada tahun 1965, sedianya pertemuan konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam dilakukan di Hollandia (sekarang Jayapura). Saksi bisunya masih ada. Pemerintah Belanda membangun Gedung DPRD Papua untuk pelaksanaan Konferensi Pasifik Selatan ini. Namun pelaksanaan Konferensi SPC ini tidak terwujud. Papua Barat saat itu berada dalam status sengketa dan menunggu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sejak saat itulah, hubungan antara Papua dan negara-negara Pasifik seakan putus.
“Sejak tahun 70 an, hubungan Papua dengan Pasifik putus. Sejak itulah kami tidak tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Padahal, Papua Barat sebelumnya adalah bagian dari Komisi Pasifik Selatan,” kata Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) kepada Jubi, Senin (7/9/2015).
Emele menambahkan, sejak media sosial hadir, masyarakat sipil di Pasifik mendapatkan akses untuk tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Media sosial, memberikan informasi tentang kekerasan di Papua Barat, selain pembangunan yang terjadi selama hubungan antara Papua Barat dengan Pasifik terputus.
“Media mainstream dan media sosial, memungkinkan kami mendapatkan informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM, sehingga kami bisa mengkonfirmasinya. Karena itulah kami bisa mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia,” kata Emele.
Sejak konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam gagal dilakukan di Jayapura, Papua Barat memang tak memiliki akses dengan Pasifik. Hubungan dengan Pasifik dalam segala lini putus dan beralih ke Jakarta. Demikian juga sebaliknya, negara-negara Pasifik seakan tak memiliki sejarah dengan Papua Barat. Sama halnya dengan masyarakat sipil di Pasifik. Segala peristiwa yang terjadi di Papua Barat, luput dari perhatian mereka. Kekerasan, pembunuhan, perampasan tanah, hingga “pembunuhan” budaya orang asli Papua, melintas begitu saja di atas Pasifik. Mereka bungkam.
Namun lima tahun terakhir, solidaritas Pasifik untuk Papua muncul. Seperti dikatakan Emele, solidaritas ini muncul seiring eksisnya media sosial di Pasifik sebagaimana di belahan dunia lain.
“Pasifik tidak bisa diam lagi. Terutama masyarakat sipilnya. Masyarakat sipil di pasifik berkewajiban membuat pemerintah mereka peduli pada apa yang terjadi di Papua Barat,” kata Emele.
Masyarakat Sipil di Pasifik, lanjut Emele, sepakat untuk mendesak pemimpin negara-negara Pasifik yang akan bertemu minggu ini dalam Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby untuk membicarakan masalah Papua Barat, selain perubahan iklim.
“Dua hal yang kami dorong untuk pemimpin-pemimpin di Pasifik, perubahan iklim dan dugaan pelanggran HAM di Papua Barat,” ujar Emele.
Perempuan Fiji ini juga mengatakan masyarakat sipil di Pasifik meminta maaf karena telah bungkam sekian lama atas penderitaan saudara-saudara mereka di Papua Barat.
“Dalam pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations di Port Moresby 1-3 September lalu, kami telah menyampaikan pada publik permintaan maaf kepada rakyat Papua Barat atas ketidakpedulian kami dan sekian lamanya kami bungkam, tidak bereaksi atas penderitaan saudara-saudara kami di Papua Barat,” jelas Emele.
Ia menambahkan, dua rekomendasi dari pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations ini akan disampaikan dalam Civil Society Organisation Regional Forum di Port Moresby, yang dimulai hari Senin (7/9/2015) .
Perempuan Pemimpin Masyarakat Sipil Pasifik lainnya, Pefi Kingi QSM yang mewakili Pacificwin-Vagahau Niue Trust, mengatakan masyarakat sipil di Pasifik sepakat untuk mendesak negara-negara Pasifik yang hadir dalam PIF untuk mengirimkan misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari delegasi PIF, masyarakat sipil dan pemimpin gereja. Pertemuan masyarakat sipil se Pasifik ini juga sepakat untuk mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB sebagai langkah penting untuk kemerdekaan Papua Barat.
“Kami kembali mengingatkan kepada para pemimpin negara-negara Pasifik, Pasifik belum bebas sampai Papua Barat merdeka,” ujar perempuan Maori ini.
Terpisah, Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor mengatakan suara masyarakat sipil menjadi prioritas utama dari sekretariat Forum Kepulauan Pasifik (PIFs). Suara masyarakat sipil, kata Meg taylor, sangat penting dalam mengembangkan kebijakan daerah, terutama informasi untuk para pemimpin negara-negara anggota PIF.
“Saya seorang pendukung utama masyarakat sipil, dan saya percaya bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat sangat penting untuk wilayah kita,” ujar Meg Taylor saat membuka forum regional Organisai Masyarakat Sipil Pasifik di Port Moresby, Senin (7/9/2015).
Meg Taylor yakin, forum ini sangat penting karena menyediakan ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan tentang beberapa isu kunci yang akan disampaikan pada forum pemimpin Kepulauan Pasifik. (Victor Mambor)

Sumber : www.tabloidjubi.com

LSM Pasifik Desak PIF Kirim Misi Ke Papua Barat

Posted by Unknown | | Posted in , , , , , ,


Jayapura, Jubi – Kelompok masyarakat sipil Pasifik mendesak Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) mengirim misi pencari fakta ke Papua Barat, Indonesia, untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) baru-baru ini meminta agar misi pencari fakta dari Forum utama negara-negara kepulauan di Pasifik dikirim ke (tanah) Papua untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Radio New Zealand melaporkan, perwakila masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dari Pasifik telah bertemu di Port Moresby –ibukota PNG, sebelum forum KTT Pemimpin dari negara-negara Pasifik bertemu pekan depan.
Emele Duituturaga dari Asosiasi LSM Kepulauan Pasifik, atau PIANGO, mengatakan ada dua isu utama dari kelompok tersebut, yakni mereka menginginkan agar para pemimpin dalam Forum itu mengatasi masalah perubahan iklim dan Papua Barat.
Duituturaga mengatakan kelompok itu menginginkan perjanjian mengikat internasional tentang pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain itu, dia juga mengatakan ini waktunya untuk melihat masalah Papua Barat.
“Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat atas kekejaman pelanggaran HAM. Ya, kami tahu bahwa ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kita desak misi pencari fakta ke dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ini cukup mendesak,” kata Emele Duituturaga, mengutip Radio New Zealand, Jumat (4/9/2015).
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat baru-baru ini diberikan status pengamat di organisasi sub-regional dikawasan Pasifik, Melanesia Spearhead Group (MSG).

Sementara itu, forum tandingan yang didirikan Frank Bainimarana (Fiji), Forum Pembangunan Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Development Forum/PIDF) yang telah berlangsung di Fiji mengangkat isu perubahan iklim menjadi agenda utama yang akan dibahas dalam pembicaraan tentang iklim skala internasional di Paris, November nanti. (Yuliana Lantipo)

Sumber : http://tabloidjubi.com

Benny Wenda: Untuk Papua Barat, ULMWP dan semua keluarga Melanesia, dan Pasifik.

Posted by Unknown | Friday, September 4, 2015 | Posted in , , , , , , ,

Benny Wenda
Papua Nugini (PNG) telah menolak aplikasi visa saya untuk memasuki negara itu untuk kedua kalinya. Saya kecewa bahwa PNG sebagai negara demokrasi yang menghargai demokrasi, kebebasan dan keadilan telah mengambil keputusan ini. Yang pertama, saya diberitahu bahwa masalah ini adalah masalah administrasi dan alasan yang diberikan adalah bahwa saya tidak melengkapi dokumen keimigrasian yang diperlukan PNG dan prosedurnya.

Untuk menghadiri undangan Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional (NCD), Hon. Powes Parkop untuk menghadiri konferensi pengungsi hak asasi manusia, dan juga mengambil bagian dalam acara lainnya termasuk perayaan kemerdekaan 40 PNG, dan Pulau Forum Pasifik dalam kapasitas saya sebagai juru bicara United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP); Saya meluncurkan aplikasi visa penuh yang diperiksa oleh pengacara saya dan dahului dengan pemesanan penerbangan.

Beberapa jam sebelumnya saya naik ke pesawat dari London Heathrow ke Port Moresby minggu ini, saya menemukan bahwa imigrasi PNG menolak permohonan visa saya, dan sebagai hasilnya, saya telah membatalkan perjalanan ke PNG. Tidak ada rincian yang tepat atau penjelasan resmi dari Komisi Tinggi PNG di London mengapa aplikasi visa saya ditolak.

Saya menghormati keputusan Pemerintah PNG dan departemen imigrasi, tetapi dengan ini saya memohon kepada pemerintah untuk tidak menghukum perjuangan rakyat Papua Barat. Saya sangat mendorong Perdana Menteri, Peter O'Neill dan semua pemimpin Pasifik untuk berdiri teguh sebagai pemimpin Pasifik dan mendukung isu Papua Barat di pertemuan minggu depan.

Papua Barat adalah salah satu dari lima bidang prioritas teratas pada pertemuan Pacific Island Development Forum, dan saya menghimbau kepada masyarakat PNG dan Pasifik untuk menggalang dukungan Anda pada rekomendasi ditetapkan sebelum para pemimpin.

Kami ULMWP menghimbau para pemimpin Pasifik kami untuk membentuk sebuah delegasi tingkat tinggi PIF untuk melakukan sebuah misi pencarian fakta untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat; dan untuk mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menunjuk seorang utusan khusus HAM untuk Papua Barat.

Ada dukungan yang berkembang di Pasifik, dan saya ingin berterima kasih secara pribadi saudara Pacific saya dan saudara yang selalu mendukung perjalanan kebebasan kita. Silakan terus mendukung rakyat Papua Barat dalam perjuangan kami untuk kebebasan. Terima kasih juga untuk teman-teman di Australia, Selandia Baru, dan mereka secara global yang terus mendukung gerakan kebebasan Papua Barat.


Benny Wenda


Pemimpin Kemerdekaan Papua Barat 
Juru Bicara United Liberalition Movement for West Papua

Papua Merdeka!

After 10 years, West Papua activist looks set to walk free

Posted by Unknown | Friday, August 21, 2015 | Posted in , , , , , ,

West Papuan independence activist Filep Karma.
 The West Papuan political activist, Filep Karma, is reportedly close to walking free after ten years in prison.

Indonesia's government has reportedly guaranteed Mr Karma's security and freedom of speech once he leaves prison.
Late last week, he rejected an offer of remission on Indonesia's National Independence Day, which was two days ago, saying he would only accept an unconditional release.
Mr Karma has been serving a 15-year jail sentence for treason in Papua's Abepura Prison, after he raised the banned Morning Star flag at a political rally in 2004.
He said he would be happy to walk free the day after National Day, as long as his release was "unconditional".
Mr Karma says he did not commit any crime by raising the flag, and would continue to campaign for West Papuan independence.
Indonesian CNN reports the government as signalling that once out of prison, Filep Karma is free to exercise his democratic rights.

Sumber : http://www.radionz.co.nz

West Papua: Not a bad start for Sogavare

Posted by Unknown | Tuesday, June 23, 2015 | Posted in , , , , ,

WE all want our government to support the United Liberation Movement for West Papua’s (ULMWP) bid for membership of the Melanesia Spearhead Group (MSG).
Prime Minister Manasseh Sogavare last Thursday responded to that call.

The Government, he says, will vote to bring West Papua into the MSG fold on “observer status”.

The highly anticipated announcement was received with mixed reactions.

Some say the position is “too soft”.

Others say it is ambiguous.

While others say it’s confusing.

Expectation is the government must support West Papua’s full member into the MSG family.

We are sure Prime Minister Sogavare made the decision to welcome West Papua into the MSG fold on observer status based on advice received from his army of advisers.

At the moment, East Timor and Indonesia enjoy observer status at MSG.

Indonesia has since applied for associate membership status – an application that will also be decided by MSG leaders in Honiara next Wednesday.

West Papua’s application will also be decided at the same meeting.

The government’s decision to support West Papua attaining observer status on MSG may not go down well with many of us.

But it’s a breakthrough for the United Liberation Movement for West Papua and local West Papuan supporters who’ve campaign and lobbied hard for this cause.

The worst we could get from the government is an outright rejection of West Papua’s application.

By giving them observer status, we have finally invited West Papua into the room to access and listen to discussions and deliberations.

And who know, this may be just a start. In a year or two, they may get full membership status.

Remember the political leaders who make these decisions now will not be up there forever.

Some, if not all, may be gone in a year or two.

But the West Papua issue will remain. It’s an issue we all must continue to push to the front burner for public debate and discourse.

So it’s not a bad start for Prime Minister Sogavare and the DCC government.

West Papua: a hard choice, but a simple one

Posted by Unknown | | Posted in , , , , , ,

No matter how we slice and dice the issue of West Papuan independence, it always comes down to this: Do the indigenous peoples of a distinct and discrete land mass have the democratic right to self-determination or not?
The answer, according to international law and standards, is an unequivocal yes.
Even a cursory examination of history reveals that Indonesia has systematically ignored and subverted the desires of the people who share the island of Papua with their cultural and ethnic brethren and sistren in Papua New Guinea. They have oppressed these people using military force, and their policies in the region have from the beginning been designed to silence the voice of the indigenous people there.
Indonesian president Joko Widodo’s protestations notwithstanding, there is no free press in the Papuan provinces. Police and military continue to claim in the face of incontrovertible evidence that there is no unrest. And still they claim that even advocating for independence is a crime. Attending a peaceful demonstration is considered grounds for arrest and incarceration. Political activity can get you tortured or killed.
Virtually all of the independence leaders living in exile have faced systematic persecution extending across borders. After he escaped prison and fled for his life, Benny Wenda faced years of forced immobility because of a flagrantly erroneous Interpol ‘red notice’, which falsely accused Mr Wenda of arson and murder.
Just last month, Mr Wenda was denied entry into the United States following an interview with US Homeland Security personnel. No reason was provided at the time. Presumably, the terrorist watch-list, or a similar international mechanism, is being used to curtail his visibility on the world stage.
It needs to be said that Jokowi, and Susilo Bambang Yudhoyono before him, would do more if they could. But the plain truth is that civilian rule of law does not extend to the Papuan provinces. These frontier areas are the under the hegemony of the Indonesian military. The wealth they derive from this island is such that they are content to conduct what has been characterised as a “slow-motion genocide” in order to perpetuate their own prosperity.
It’s despicable, frankly. But nobody seems to have either the power or the political will to end this tyranny. One can argue realpolitik, and claim that Indonesia is moving in the right direction, but it’s clear that politicians in Jakarta allow these depredations to continue on Melanesian peoples even while they take great strides to protect their ethnically Asian populations.
In editorial pages across the region, commentators are writhing and contorting themselves to try to find a dignified, elevated expression of the pending decision: Should the Melanesian Spearhead Group recommend full membership for the United Movement for the Liberation of West Papua (ULMWP)? Will they do it?
The answer to each question is agonisingly simple: Yes, they should; and no, they will not.
Indonesia has already won this round. They won on the day that Voreqe Bainimarama reiterated that Indonesia’s territorial integrity was inviolate. They won doubly when he recommended them for associate membership in the MSG, a move that effectively kills the prospect of any dialogue concerning West Papuan independence in this forum.
The MSG operates on consensus. If there is no agreement, there is no action. Given the opposing stances that Vanuatu and Fiji have taken concerning the ULMWP, no compromise – let alone consensus – seems possible. And given the recent rise to power of Sato Kilman, widely considered to be Indonesia’s cats-paw in Vanuatu, membership for Indonesia is not out of the question.
Regional commentators and political figures wax poetic about the need for dialogue and inclusion. They ignore the rather inconvenient fact that West Papua’s MSG bid is a result of the fact that dialogue within Indonesia is not only impossible, it’s frequently fatal to those who attempt it.
It’s frankly infuriating to see the namby-pamby linguistic contortions that some of those involved have engaged in. Solomon Islands prime minister Manasseh Sogavare’s championship-level equivocation, advocating for observer status for the ULMWP and membership for Indonesia, simply closes the coffin and hands the nails to Indonesia. PNG prime minister Peter O’Neill’s ability to swallow his outrage over human rights abuses seems to increase right alongside his ability to attract Indonesian business interests.
But worst of all is Vanuatu’s deputy prime minister Moana Carcasses, who only last year made history with his presentation of West Papua’s plight to the United Nations. Now, he is reportedly professing that the issue is a difficult one, and that understanding and patience need to prevail.
Fiji, at least, is unapologetic, if shameless, in its stance.
The MSG cannot move out of this morass if it won’t speak clearly about the situation. There is a prima facie case for West Papuan membership in the MSG. If the fact that the chair is currently held by the New Caledonian independence movement weren’t evidence enough, then the words of support from MSG founding member Sir Michael Somare should suffice.
But ULMWP membership is unacceptable to Indonesia. And it has played its hand with care. Ensuring that even Australia did not remain on the sidelines, it prodded and pulled at everyone involved, and got the result that it wanted.
If the MSG is to retain even an iota of credibility, the only line that it can honestly take now is to admit that it cannot usefully function as a forum for discussions concerning Melanesian decolonialisation, because it lacks the strength to resist the overwhelming power of its neighbours.
It’s a fact: Melanesia is weak. There’s no shame in saying so. Indonesia is powerful – powerful enough even to give Australia pause. Indonesia has the will and the political and material resources necessary to ensure that West Papuan independence remains merely a dream for years yet to come. Likewise, armed resistance to an utterly ruthless military cannot succeed. The days of the OPM are past – if they ever existed.
The sooner we come to terms with these truths, the sooner ULMWP can begin developing effective tactics to counteract them. Those of us in Melanesia owe them at least that much.
[First published at the Pacific Institute of Public Policy .]

Sumber : https://redflag.org.au

Jenderal TNI Moeldoko Latih Wartawan Liput di Medan Perang

Posted by Unknown | Thursday, June 18, 2015 | Posted in , , , , ,

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (tengah) meneriakkan yel-yel bersama para prajurit Kopassus di Markas Grup-1 Kopassus, Serang, Banten, Rabu (11/3). Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Sebelumnya, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu meminta para raider Komando Strategis cadangan Angkatan Darat (AD) siaga jika sewaktu-waktu harus terjun ke Papua, menghadapi gerakan kemerdekaan Papua Barat (baca: Mentri Pertahanan RI: Cadangkan AD Siaga untuk Papua).

Selanjutnya, TNI membentuk Satuan Komando Operasi Pasukan Khusus Gabungan untuk membantu kepolisian menanggulangi terorisme dan gerakan makar (baca: TNI Bentuk Satuan Khusus Tanggulangi Teror dan Makar).

Kini, TNI mengajak awak media untuk melakukan simulasi latihan melakukan peliputan di medan perang. Dalam latihan tersebut, Panglima TNI Jenderal Moeldoko ingin agar para wartawan mampu memahami situasi di daerah pertempuran.

Dilansir CNN Indonesia edisi Sabtu 13 Juni 2015 memberitakan, sebanyak 85 wartawan, baik media cetak, media online dan media elektronik mengikuti simulasi latihan peliputan di medan perang. Para peserta telah hadir di Gunung Sanggabuana, tempat pelatihan, sejak Kamis malam (11/6/2015) dan selesai pada Sabtu (13/6/2015).

"Ini perlu dicermati bahwa saudara wartawan nanti jika memiliki tugas di wilayah tidak aman, maka perlu memahami situasi di sana," ujar Moeldoko di lokasi latihan Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat di Karawang, Jawa Barat, Sabtu (13/6/2015).

"Bagaimana mengetahui cuaca yang baik, memahami medan, dan memahami musuh yang sedang bertikai," ujarnya.

Terkait cara latihan yang dirasa terlalu keras, Moeldoko mengatakan, itu semua diperlukan karena medan perang lebih ekstrem dari yang diajarkan oleh para pelatih. Selain itu, sang jenderal yang sebentar lagi digantikan posisinya oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo itu berencana untuk menjadikan latihan wartawan sebagai agenda rutin.

"Saya kira ini akan rutin ya. Saya sangat setuju jika ini dirutinkan. Di daerah operasi sangat keras maka perlu dilatih cara-cara ekstrem. Kalau normatif tidak bertemu (persamaan dengan medan perang)," kata Moeldoko. (SAL/014/CNN/MS)


Sumber : http://majalahselangkah.com

Razia Aktivis KNPB, Polres Sorong Kota Tahan Satu Anggota

Posted by Unknown | Wednesday, June 17, 2015 | Posted in , , , , , , , , ,

Rasia Aktivis KNPB yang di lakukan aparat
 Polres Sorong Kota - Jubi, Niko
Sorong, Jubi – Aksi demo damai Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya yang rencananya akan dilakukan di halaman kantor DPRD Kota Sorong, Rabu (17/6/2015) guna mendukung Papua Barat menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) dihentikan aparat dengan melakukan razia. Satu aktivis KNPB Sorong Raya atas nama Nando Kogaya dan satu kendaran motor ditahan Polres Sorong Kota.
Berdasarkan pantauan Jubi, Rabu (17/6) sekitar pukul 10.00 WIT, anggota Kepolisian Polres Sorong Kota dibantu TNI melakukan monitoring sebelum melakukan razia terhadap aktivis KNPB yang berencana akan bergerak melakukan aksi unjuk rasa dari kawasan komplek perkuburan Kilometer 10 menuju ke kantor DPRD Kota Sorong yang berlokasi di jalan Jupiter kilometer 10 Kota Sorong.
Selang beberapa waktu, tidak ada pergerakan dari pengunjukrasa. Kemudian pihak Kepolisian melakukan razia terhadap sejumlah kendaraan yang melintas dan dicurigai sebagai aktivis KNPB yang secara diam-diam dan terpisah, ingin melakukan unjuk rasa di kantor DPRD Kota Sorong.
Hasil razia tersebut akhirnya membuahkan hasil. Anggota Kepolisian berhasil menyita sebuah selebaran dari dalam tas seorang pengendara sepeda motor yang melintas dan diduga sebagai aktivis KNPB. Dinilai telah berencana melakukan aktivitas terlarang kemudian, barang bukti yang dibawanya disita oleh aparat kepolisian dan yang bersangkutan dimintai keterangan terkait barang bawaannya sebelum akhirnya dilepas kembali.
Juru Bicara KNPB Sorong Raya, Agustinus Aud alias Gusti Prabu mengaku, KNPB Sorong Raya sekitar pukyul 9.00 pagi WIT, berencana melakukan aksi damai berupa long march menuju kantor DPRD Kota Sorong, namun rencana tersebut dihadang oleh aparat gabugan TNI/POLRI.
“Anggota polisi sempat menahan satu aktivis KNPB Sorong Raya atas nama Nando Kogaya dan satu kendaran motor tapi sudah dibebaskan pada pukul 16.00 WIT,” katan Gusti Prabu.
Menurut nya, tujuan aksi KNPB ingin mendukung penuh ULMWP membawa aplikasi Papua Barat menuju MSG. “ Ingat, rakyat Papua Barat selama 54 tahun hidup bersama indonesia. Namun, orang asli Papua tetap garis dibawa kemiskinan dan melarat di atas kekayaan alam sendiri, “jelasnya melalui telefon seluler. (Niko MB).

Perdasus Hak Adat Atas Tanah Sudah Saatnya Dibuat

Posted by Unknown | Friday, April 17, 2015 | Posted in , , , ,

Yan Kristian Warinusi (Direktur LP3BH Manowari ) - jubi nees
Sorong, Jubi – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari sebagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang berfokus pada upaya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua mendesak Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) untuk segera mendorong lahirnya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Perlindungan terhadap Hak-hak Masyarakat Adat Papua atas tanah, hutan dan sumber daya alam.
Hal ini itu disampaikan Dierktur Eksekuti LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, Rabu (15/4/2015) di Sorong, Papua Barat.
Sebagai bagian dari implementasi riil terhadap amanat pasal 43 dari Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebagaimana diubah pada Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008. “Langkah awal seharusnya dimulai pula dari segenap kelompok masyarakat adat yang terdapat dalam wilayah adat Doberai dan Bomberai dengan melakukan konsolidasi pada setiap suku adat orang asli Papua di kedua wilayah adat tersebut,” Kata Warinussy .
Dengan konsolidasi tersebut melalui Dewan Adat Papua (DAP) dapat dihasilkan sejumlah pokok pemikiran yang dapat dijadikan sebagai masukan penting di dalam pembahasan rancangan Perdasus tersebut.
Kehadiran Perdasus tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua atas Tanah, Hutan dan Sumber Daya Alam tersebut, sangat penting, demi memastikan akses masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumber daya alam tersebut diakui dan dihormati oleh negara sebagaimana tersirat di dalam amanat pasal 18B Undang Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara. (Nees Makuba)

Sumber : http://tabloidjubi.com

FMJ-PTP: Pembangunan Mako Brimob Untuk Kepentingan Bupati Bukan Rakyat

Posted by Unknown | | Posted in , , , ,

Forum Masyarakat Jayawijaya Se Pegunungan Tengah Papua
 (FMJ-PTP) ketika menggelar jumpa pers di Wamena. Jubi/Islami
Wamena, Jubi – Meski belum ada keputusan dari hasil dialog yang difasilitasi DPRD Jayawijaya terkait pro kontra rencana pembangunan Mako Brimob di Jayawijaya, namun kalangan masyarakat Jayawijaya tetap menolak rencana pembangunan tersebut di seluruh wilayah Jayawijaya.
Forum Masyarakat Jayawijaya Se Pegunungan Tengah Papua (FMJ-PTP) menilai, dari hasil dialog beberapa waktu lalu di DPRD Jayawijaya banyak kejanggalan.
Hal pertama masyarakat yang dihadirkan hanya beberapa perwakilan saja, sehingga terkesan membatasi ruang masyarakat untuk memberikan pendapat. Kedua, terkait dengan penyampaian Kapolres Jayawijaya, bahwa terkait pembangunan Mako Brimob di Jayawijaya merupakan intruksi langsung dari Kapolda Papua sesuai instruksi dari Mabes Polri.
“Kami ingin sampaikan, itu keliru, karena sesuai dengan pernyataan Kapolda tanggal 31 Januari 2015 di media massa Kapolda sampaikan, terkait rencana pembangunan Mako Brimob di Jayawijaya bukan rencana Polda tetapi permintaan dari Bupati sendiri. Begitu juga pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri menjelaskan terkait wacana Mako Brimob bukan intruksi Mabes Polri dan sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan laporan hanya mendengar dari media saja,” ujar Beni Wetipo kepada wartawan di Wamena, Rabu (15/4/2015).
“Kami minta dapat diperjelas apa memang instruksi Kapolda atau Bupati soal pembangunan Mako Brimob ini?” tambah Beni Wetipo.
Selain itu, FMJ-PTP melihat sesuai Surat Bupati Jayawijaya,tertanggal 9 Juni 2012 Bupati meminta yang disetujui oleh Lembaga Masyarakat Adat dan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama dan DPRD Jayawijaya agar pembangunan Kompi Brimob saat itu dihentikan dengan berbagai pertimbangan.
“Makanya kami minta Bupati klarifikasi pernyataan ini, padahal sempat menolak juga LMA, DPRD tetapi kenapa sekarang mereka balik ngotot ingin membangun kembali,” tegas Beni Wetipo.
Forum menilai keinginan untuk membangun Mako Brimob di Jayawijaya bukanlah untuk kepentingan rakyat di Jayawijaya tetapi untuk kepentingan Bupati sendiri.
“Kalau Bupati tetap akan membangun Mako Brimob di Jayawijaya, berarti itu bukan untuk kepentingan rakyat tetapi dirinya sendiri. Kalau memang untuk rakyat, Bupati harus mendengar rakyat, karena Bupati dipilih oleh rakyat,” kata Wetipo.
Bahkan dari pengamatan forum sendiri, setelah masyarakat menolak untuk dibangun Mako Brimob di wilayah Molama (Distrik Wouma dan Welesi), kini rencana pembangunan dialihkan ke wilayah Distrik Pisugi dan Witawaya.
Menurut mereka, tim dari PU dan Polres sedang mengukur lokasi di Honay Resort yang rencananya dijadikan tempat sementara, juga sempat melihat kembali tempat awal pembangunan Mako di Pisugi di dekat Pasir Putih atau wilayah Purama.
Untuk itu, kepala suku besar Pisugi dan Witawaya, Cornelis Oagay dengan tegas sudah menolak rencana pembangunan Mako Brimob di Jayawijaya khususnya distrik Pisugi dan Witawaya.
“Kami nilai dengan kehadiran Brimob di tengah-tengah masyarakat, kehidupan rakyat akan terganggu,” ujar Cornelis Oagay. Bahkan perwakilan dari distrik Hubikiak juga menolak adanya Mako Brimob di wilayahnya. (Islami)

Polisi Bubarkan Sosialisasi Hasil ULMWP di Kaimana

Posted by Unknown | | Posted in , , , , ,

Add caption
Jayapura, Jubi – Kegiatan sosialisasi hasil United Liberation Movement fo West Papua (ULMWP) yang dihasilkan di Saralana, Vanutu oleh para pimpian organisasi perjuangan pembebasan Papua Barat yang hendak disosialisasikan oleh Parlemen Rakyat Daerah (PRD) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Kaimana sempat dibubarkan oleh aparat dari Polres Kaimana.
“Kegiatan Sosialisasi ULMWP oleh Team Kerja ULMWP wilayah Bomberai di Kaimana sempat dibubarkan oleh Kepolisian Resor Kaimana. Namun setelah negosiasi dengan kami pihak penyelenggara dan dengan adanya penolakan dari masyarakat, kemudian sosialisasi dilanjutkan kembali setelah aparat meninggalkan tempat sosialisai,” ujar Steven Itlay, Team Sosialisasi ULMWP Wilayah Bomberai  West Papua dari Kaimana melalui surat elektronik yang diterima Jubi, Rabu (15/4/2015).
Dijelaskan, sebelumnya kegiatan dimulai pada pukul 10.00 WP, dihadiri para tokoh-tokoh politik, tokoh agama dan tokoh adat. Diawali dengan doa dan selanjutnya sambutan Ketua KNPB Kaimana atas terselenggaranya kegiatan.
Selanjutnya, pemateri dari team sosialisasi yang dibantu KNPB dan PRD wilayah Kaimana menjalankan kegiatan sosialisasi dengan baik dan mendapat respon dan sambutan yang baik oleh peserta kegiatan.
“Tetapi di tengah jalannya kegiatan sosialisasi Kapolres Kaimana bersama bawahannya datang dengan mengendarai dua truk Dalmas, dua mobil patroli dan satu mobil Avanza mendatangi tempat sosialisasi dan memaksa untuk membubarkan kegiatan sosialisasi sehingga kegiatan terpaksa di tutup pada pukul 12.00,” jelasnya.
Setelah itu, aparat hendak mengamankan beberapa alat seperti baliho, megaphone, fotokopian materi sosialisasi dan lainnya, namun karena pihak pihak penyelenggara kegiatan bersihkeras menolak. Sehingga aparat tidak sempat amankan barang-barang tersebut.
“Setelah itu aparat kembali dan  kegiatan sosialisasi dilanjutkan hingga usai dengan tertib,” ujarnya.
Sementara itu, Bazoka Logo, Juru Bicara Nasional KNPB Pusat kepada Jubi meminta kepada aparat agar hentikan cara-cara basi yang dilakukan oleh aparat untuk menghalangi kegiatan apapun yang dilakukan oleh KNPB dengan alasan apa pun.
“Apa yang kami lakukan ini adalah perjuangan damai dan bermartabat. Bukan perjuangan dengan kekerasan. Aparat harus banyak belajar UU yang dibuat oleh negara Indonesia. Bukan malah melanggar UU yang dibuatnya sendiri dengan cara yang tidak masuk akal. Jadi aparat stop dengan aksi-aksinya untuk menghalangi setiap aktivitas orang Papua,” tegasnya kepada Jubi di Waena, (15/4/2015).
Pemerintah Indonesia melalui jajaran dibawahannya, seperti aparat TNI maupun Polri di tanah Papua diminta menghentikan aksi-aksinya, sebab ruang demokrasi di tanah Papua harus dibuka.
“Kami KNPB tetap dan terus berjuang untuk menyuarakan aspirasi rakyat Papua hingga cita-cita bangsa Papua Barat tercapai,” tegasnya.
Dari informasi yang diterima Jubi, Kapolres Kaimana memimpin langsung ke tempat sosialsasi ULMWP di Kaimana. Jumlah personil yang diturunkan sekitar 30-an anggota. Namun setelah aparat pergi, kegiatan dilanjutan kembali dan berjalan dengan lancar.(Arnold Belau)
Sumber : http://tabloidjubi.com

Papua Dinilai Masih Dalam Situasi Perdamaian Negatif

Posted by Unknown | | Posted in , , , , ,

Jakarta, Jubi/Antara – Papua kini dalam kondisi perdamaian negatif setelah perang terbuka berhenti, tetapi kondisi sosial ekonomi masyarakat belum dalam kondisi yang baik, kata Peneliti Senior Ridwan al-Makassary.
“Papua hari ini konflik bersenjata dalam tingkat dan ragam mengalami perdamaian negatif, tidak ada perang terbuka, tetapi kondisi sosial ekonomi belum baik,” kata Peneliti Senior Papua Peace And Development Action (Papeda) Institute Ridwan al-Makassary dalam acara Peluncuran Indeks Intensitas Kekerasan 2015 SNPK The Habibie Center di Jakarta, Kamis (16/4/2015).
Kini, ia menilai Papua sudah bukan ‘land of violence’ dan tempat konflik berdarah, melainkan tempat yang relatif aman setelah konflik bersenjata antara pemerintah dan gerakan separatis berhenti.
Papua, kata dia, masih memiliki ‘pekerjaan rumah’ mengubah perdamaian negatif ke arah perdamaian positif dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, ia menuturkan untuk mendapatkan perdamaian yang positif Papua juga harus berjuang memenuhi keadilan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
“Papua harus berjuang mencapai perdamaian positif dengan menghadirkan keadilan HAM dan demokrasi,” kata dia.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah mendukung perdamaian yang sudah tercipta di tanah Papua dengan menghindari cara kekerasan untuk memperjuangkan perdamaian di sana.
Ia juga mengimbau gerakan separatis tidak menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya karena konflik bersenjata hanya akan membuat masyarakat sipil menderita dan menghilangkan ‘prestasi’ yang telah dicapai di Papua.
“Rakyat Papua menginginkan perdamaian dan itu harus diperjuangkan bersama-sama antara pemerintah, sipil, akademisi dan gerakan,” tutur dia.
Berdasarkan data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan The Habibie Center, kekerasan yang paling banyak terjadi di Papua adalah separatisme, yakni sebanyak 42 kali selama 2014 yang menimbulkan 34 korban jiwa, 37 korban luka-luka dan banyak kerusakan bangunan.
Menurut John Galtung ada dua makna perdamaian, yakni perdamaian negatif di mana tidak ada perang dan perdamaian positif yang menunjukkan situasi tanpa kekerasan, baik kekerasan langsung, struktural, kultural dan ekonomi. (*)

Tradisi Bakar Batu di Papua

Posted by Unknown | | Posted in , , , ,

Bakar batu mahasiswa Stiper-Sentani-Papua-ist
Jayapura, Jubi- Memasak makanan dengan membakar batu adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh masarakat di pedalaman Tengah Papua. Masarakat Paniai Suku Mee menyebutnya Gapiia, sedangkan masyarakat di Lembah Baliem Suku Dani Lembah menamakan Kit Oba Isogoa.
Upacara bakar batu di Pedalaman Papua termasuk tradisi penting dalam upacara menyambut pesta panen sebagai rasa syukur. Menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian atau persiapan kaum pria menjelang perang suku.
Tradisi bakar batu sejak lama dilakukan karena masyarakat di pedalaman maupun di pesisir pantai termasuk masyarakat suku Byak belum mengenal cara memasak memakai pancau atau sejenisnya hingga praktis menggunakan bakar batu. Ada beberapa masyarakat yang memakai tembikar atau sempe untuk membakar sagu atau pun memasak seperti di Teluk Humbold dan masyarakat di Danau Sentani.
Persiapan bakar batu, masing-masing kelompok klen menyerahkan babi(wam), petatas( epere). Babi sebagai persembahan, ada yang menari, ada pula yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Bahkan daun-daun alang-alang dan batu-batu pengalas pemasak makanan. Batu mulanya dibakar di atas tumpukan kayu hingga panas berwarna merah.
Kemudian babi yang akan dimasukan ke dalam batu panas, dipanah oleh kepala suku dan dilakukan secara bergantian. Ada pandangan yang cukup unik dalam ritual memanah babi ini, apabila semua kepala suku memanah seketika itu babi langsung mati. Pertanda acara sukses, sedangkan jika tak langsung mati, diyakini pesta adat berlangsung sukses.
Setelah daun dan sayuran serta bahan siap untuk dimasak, kaum lelaki mulai menggali lubang yang cukup dalam. Di dalam lobang itu kemudian batu panas dimasukan ke dalam galian yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang sebagai penghalang agar uap panas batu tidak menguap. (Dominggus Mampioper)

Kunjungan Jokowi ke Puncak Jaya Masih Sebatas Wacana

Posted by Unknown | | Posted in , , ,

Sekretaris Daerah Papua, Hery Dosinaen - Jubi/Alex
Jayapura, Jubi – Sekretaris Daerah Papua, Hery Dosinaen mengatakan rencana kunjungan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke Kabupaten Puncak Jaya masih sebatas wacanan. Pasalnya sampai hari ini Pemerintah Provinsi Papua belum menerima laporan resmi dari pihak Kepresidenan.
“Soal kunjungan ke Puncak Jaya itu masih wacana saja. Kalau sudah pasti dari pihak protokoler kepresidenan akan menyampaikan dan memberikan informasi kepada pemerintah daerah,” kata Hery Dosinaen kepada wartawan, di Jayapura, Papua, Jumat (17/4/2015).
Kalau seandainya hal itu betul, ujar dia, sudah pasti seluruh stakeholder akan bersama sama mempersiapkan kedatangan orang nomor satu di Indonesia. Namun yang paling penting, harus ada timbal balik dari kunjungan tersebut serta output dan outcame dari kunjungan tersebut.
“Pastinya pak Presiden melihat kondisi objektif dengan lihat kearifan lokal di Papua. Pasti kita yakin ada kebijakan sektoral yang mengakomodir semua aspek di Tanah Papua,” ucapnya.
Selain rencana kunjungan ke Puncak Jaya, kata Dosinaen, Jokowi juga direncanakan akan berkunjung ke Merauke pada Mei 2015 untuk melakukan panen raya padi seluas 300 hektar.
“Informasi yang didapat, lahan seluas 300 Ha itu adalah milik PT Medco Grup, Arifin Ponegoro. Dimana

areal tanaman padi ini adalah sawah modern yang ia kembangkan di Merauke,” katanya.

Sebelumnya. Pangdam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Fransen G. Siahaan mengatakan Presiden Indonesia, Jokowi berkeinginan bertemu dan berdialog dengan kelompok Organisasi Papua Merdeka, termasuk Goliat Tabuni yang diberitakan oleh media massa telah menyerahkan diri.
“Pak Presiden Joko Widodo merencanakan kunjungi Papua, terutama ke Puncak Jaya, dan akan bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat maupun adat di sana,” kata Mayor Jenderal TNI Fransen G. Siahaan, Rabu (25/3/2015), seperti dikutip antaranews.com.(Alexander Loen)
PPC Iklan Blogger Indonesia

"Suara Kaum Tertindas"

Powered by Blogger.

Follow Us On Facebook

I heart FeedBurner

    Blog Archive