Headlines

Peristiwa Arfai 1965 Dalam Cerita Mantan Tapol Papua Yulius Inaury (Tamat)

Posted by Unknown | Wednesday, July 30, 2014 | Posted in , , , , ,

Yulius Inaury Bersama Istri
dan Kerabat di Pulau Mambor (Jubi/Aprila)
Jayapura, 30/7 (Jubi) – Kisah Permenas Awom, tokoh sentral dalam gerakan bersenjata di Papua pada Peristiwa 28 Juli 1965 di Arfai, Manokwari dalam cerita Mantan Tapol Papua, Yulius Inaury.

Permenas Awom adalah salah sersan  pasukan PVK. Menurut Yulius, Oermenas laki-laki yang ganteng dan jago. Dia penembak ulung dari Batalyon Papua. Dialah yang memimpin pasukan menyerang pasukan Indonesia yang mendarat di Pulau Gak, Raja Ampat, kurang lebih pada Tahun 1963.

“Dia kasih habis semua pasukan Indonesia,” kata Yulius.

Pada saat itu mereka masih bergerilya, sebelum Peristiwa Arfai 1965 pecah dan perlawanan itu dimulai dari Sorong, Raja Ampat. Permenas diperintahkan Komandan PVK, seorang Belanda. Permenas sendiri adalah komandan operasi, sehingga  berpindah-pindah tempat. Bila ada pendaratan tentara Indonesia, Awom yang berangkat.

“Isterinya ada, ada anak juga kalau tidak salah. Awom tinggal di Kuwawi, Manokwari,”tutur Yulius pada tabloidjubi.com di Pulau Mambor, akhir Juni 2014 lalu.

Beberapa nama yang sempat diingat Yulius berada bersama-sama dirinya ke Jawa dengan Kapal Raden Saleh ke Jawa adalah Ruben Samber (guru), ada juga almarhum Agus Inaury. Ia adik kandung Yulius Inaury. Agus ditangkap karena punya marga yang sama, padahal dia baru pulang sekolah pendeta. Ada juga Neles Wader juga terakhir jumpa di Manokwari. Entah sekarang masih hidup atau tidak.

“Kalau Permenas, katanya dorang kirim di ke Jawa untuk ditahan, padahal dorang tipu. Dorang borgol dia kaki dan tangan. Sampai di kapal perang dorang isi dia di karung, lalu ditembak saat kapal dekat Pulau Lemon, antara Ransiki dan Manokwari, di belakang Pulau Mansinam,”tutur Yulius dengan mata berkaca-kaca.

Lanjutnya, jenazah Permenas kemudian dibuang dan ditenggelamkan di Perairan Pulau Mansinam oleh Tentara Indonesia setelah sebelumnya ditahan di sel Kodim Manokwari setelah pelaksanaan Pepera 1969.

“Dorang bujuk dan membayar kepala suku Arfak di Maniambo di perdalaman, bapa piaranya Permenas,”lanjut ayah  Anance Inaury ini.

Menurut Yulius, Tentara Indonesia ini kemudian menyewa bapa piara Permenas untuk ‘mengerjakan’ dan menyiapkan dua butir peluru yang akan dipergunakan menembak Permenas. Peluru biasa tidak akan masuk kecuali melalui bapa piaranya yang ‘melengkapi’ Ferry ini.

“Kisah ini diceritakan istri Ferry, seoraang perempuan Doreri pada saya,” tutur Yulius Inaury lagi.

Selain itu, Yulius dan kawan-kawan masih memiliki barisan intelijen yaitu anak-anak sekolah ikut pasukan Kodim. Sebagian cerita ini didapat dari barisan intelijen ini. Ada yang bahkan melihat saat Permenas ditembak dan dibuang ke laut. Waktu jenasah Permenas terdampar di Belakang Pulau mansinam, tidak ada orang yang berani mendekat tetapi istrinya yakin itu suaminya. Wajah memang sudah hancur dan tidakdapat dikenali lagi.

“Istrinya hanya bisa mengenali suaminya dari cincin kawin mereka pada jenasah Awom.  Istri dan keluarganya kemudian memakamkan sang tokoh legendaris ini di Pulau Mansinam,” ungkap Yulius.

Hingga saat ini, makam sang tokoh gerakan bersenjata ini masih belum diketahui khalayak umum. Bahkan, cerita yang beredar di masyarakat Papua bahwa Permenas dibuang ke laut dan tidak ditemukan jenazahnya.

Kembali ke Peristiwa Arfai 1965, Yulius dan rombongan berjalan kaki dari Manokwari, turun ke Prafi dan kemudian bergabung dengan pasukan Permenas di Pantai Nuni. Di sana, Permenas memeluk Yulius dan menangis sekaligus menyesal karena keberadaan Yulius dalam pasukan ini karena Yulius adalah seorang guru. Tetapi, Yulius menjawab Permenas, mau tidak mau, dirinya harus bergabung dari pada akhirnya disiksa di kota. Walau akhirnya semua anak buah  Permenas ditangkap dan disiksa.

“Saya termasuk salah satu yang mendeklarasikan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi Papua Merdeka nama yang kami berikan pada kami yang melangsungkan rapat di Vanindi, di satu rumah di pinggir jalan, dekat tikungan, ada Toko May. Di tempat itu nama OPM lahir,” kenang Yulius dengan mata semakin sembab.

Ternyata, dalam rapat Yulius dan teman-temannya tidak mengetahui seorang intel kodim, Orang Ansus yang kemudian melaporkan Yulius dan kawan-kawannya yang akhirnya menjadi target operasi Tentara Indonesia.

“Permenas mau bergerak selamatkan masyarakat saat itu karena keadaan Manokwari sudah terlaku rusak. Pada waktu yang sama, pasukan PBB sudah turun di Manokwari dan mendirikan Kantor Residen, dipimpin seorang Prancis,” kata Yulius.

Saat Pepera 1969, Yulius sudah  berada di Jawa karena pengkondisian. Indonesia tidak ingin Pepera 1969 kacau. (TAMAT) (Jubi/Aprila)

Mengapa Mereka Berjuang ? Untuk Papua Merdeka

Posted by Unknown | | Posted in , , , , , , , ,

Filep Jafis Spener Karma dan putri sulungnya Audryne Karma.(Jubi/ist)
Jayapura,30/7(Jubi)-Filep Karma adalah putra pertama keluarga Andreas Karma dan Mama Noriwari. Andreas Karma pernah menjabat Bupati selama 20 tahun. Sepuluh tahun menjadi  Bupati Jayawijaya dan sepuluh tahun Bupati Yapen Waropen.

Andy Ajamiseba, putra  Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong(DPR GR) Provinsi Irian Barat, Dirk Ajamiseba. Sebagai pebisnis dan pengusaha sukses di blantika musik Indonesia, ia juga ikut mendirikan PT Bintuni Baru(BB) dan bergerak dalam usaha perdagangan.

Begitu pula dengan Zeth Rumkorem, pernah mengikuti pendidikan militer, pada Pusat  Pendidikan Perwira Infantri di  Bandung, dan berpangkat Letnan Dua(Letda). Roemkorem seangkatan dengan Jenderal LB Moerdani. Ayahnya, Lukas Rumkorem, pejuang Merah Putih dengan pangkat penghargaan Major Tituler Angkatan Laut.  Saat memimpin Perang Gerilya Organisasi Papua Merdeka, Zeth Roemkorem berpangkat Brigjen.

Filep Karma menempuh pendidikan tanpa halangan mulai sekolah di SD Kristus Raja, SMP Negeri I Dok V Jayapura. Dia juga berteman dengan putra Acub Zainal, Lucky Acub Zainal.

“Lucky dan saya dulu sekolah di SD Kristus Raja,”kata Filep Karma beberapa waktu lalu kepada tabloidjubi.com.

Dia menamatkan SMA Negeri Abepura dan melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Negeri Sebelas Maret di Solo. Pemimpin Biak Berdarah ini, sempat pula belajar dan studi resolusi konflik di Filipina.

Salah seorang pentolan Papua Merdeka, Bas Fairyo, adalah lulusan Akabri Kepolisian dengan pangkat Letnan Dua (Letda). Dia nekad masuk hutan,  berjuang demi penegakan bendera Bintang Kejora. Padahal, dengan kedudukan dan lulusan Akabri Kepolisian tentunya, meraih sukses dalam karier dan penghasilan yang memadai. Mengapa mereka harus menanggalkan semua itu dan memilih berjuang demi kemerdekaan di Tanah Orang Papua?

Yance Hembring salah satu bekas anak buah Zeth Roemkorem mengaku bahwa Roemkorem sangat disiplin dan tegas. Hampir sebagian besar anak buahnya mahir menembak dengan menggunakan berbagai jenis senjata.

”Saya masuk ke hutan, ikut Brigjen  Zeth Roemkorem pada 1978,”kata Hembring yang waktu itu berpangkat Kolonel.

Menurut Hembring, menjelang kemerdekaan Papua New Guinea(PNG) pada 16 September 1975, pihak pemerintah PNG mengundang Presiden Republik Papua Barat, Zeth Roemkorem untuk menghadiri kemerdekaan PNG. Ia diundang sebagao Presiden Republik Papua Barat karena  pada 1 Juli 1971 Brigadir Jenderal Zeth Roemkorem memimpin dan membacakan proklamasi kemerdekaan Republik Papua Barat.

Sedangkan Jacob Pray waktu itu menjadi Ketua Parlemen.”Kita memakai sistem presidentil,”kata Hembring. Sayangnya, lanjut Hembring, menjelang keberangkatan ke PNG guna merayakan kemerdekaan 16 September 1975. Ketua DPR Republik Papua Barat juga ingin menghadiri perayaan.

“Inilah awal kedua pemimpin mulai beda pendapat,”katanya.

Akibat perbedaan pendapat ini menyebabkan kedua pemimpin pecah dan masing-masing mengklaim sebagai pejuang dan pemimpin Papua Merdeka.

Beruntung pada 11 Juli 1985, mendiang PM Republik Vanuatu Walter Lini memprakarsai kesepakatan damai antara kubu Pray dan kubu Zeth Roemkorem. Bahkan kedua pemimpin ini akhirnya keluar dari hutan Papua. Zeth Roemkorem berangkat ke Yunani dan meninggal di Belanda. Yacob Pray menetap di Swedia bersama Nick Meset, Dr Mauri, Amos Indey.

Andy Ajamiseba sukses dengan Group Band Black Brother di Jakarta dan berhasil membawa musisi Papua sejajar dengan pemusik Indonesia. Lagu Hari Kiamat menduduki tangga lagu-lagu populer se tanah Jawa dan seluruh Indonesia. Lagu Persipura Mutiara Hitam membangkitkan semangat sepak bola anak-anak Papua. Pasalnya Hengky Heipon kapten Persipura dan kawan-kawan meraih Piala Soeharto, 1976. Timo Kapisa dan Johanes Auri ikon Persipura di era 1976.

Andy Ajamiseba meninggalkan semua sukses itu, melanglang buana ke Eropa dan Pasifik Selatan mengampanyekan Papua Merdeka. Mengapa pilihan itu yang diambil? Bukankah masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh? Begitulah langkah-langkah mereka untuk mewujudkan kehidupan dan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua.

Para tokoh Papua yang tergabung dalam Tim Seratus juga pernah menghadap Presiden BJ Habibie untuk meminta agar Papua bisa bebas dan terlepas dari Republik Indonesia. Habibie hanya berpesan pulang dan renungkan kembali.

Terlepas dari perjuangan dan kemauan untuk memerdekakan orang Papua dari penindasan sesama bangsa. Fakta hari ini adalah bahwa Tanah Papua memiliki peluang untuk masuk ke dalam keluarga besar Ujung Tombak Persaudaraan  Melanesia(MSG).

Hanya saja, kesamaan budaya dan ras Melanesia terkadang bukan jaminan untuk masuk dalam percaturan politik. Perlu kehati-hatian dalam membangun kepercayaan dan rasa kebersamaan guna mewujudkan cita-cita bersama. Apalagi dalam berpolitik, harus mampu mengorbankan kepentingan-kepentingan kelompok maupun pribadi demi sesuatu yang jauh lebih besar. (Jubi/dominggus a mampioper)

Yoman: Pemerintah Buat Orang Papua Kehilangan Jati Diri

Posted by Unknown | Monday, July 28, 2014 | Posted in , , , ,

Socratez Sofyan Yoman, Ketua umum Persekutuan
Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP). Foto: Ist.
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Ketua umum, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pendeta Socratez Sofyan Yoman menilai penggunaan nama jalan di kota Jayapura hasil adopsi dari daerah lain merupakan salah satu jalan mulai terkikisnya jati diri orang Papua ke ambang kehancuran.

Pendeta Socratez mengakui akan mengusulkan ke pemerintah agar nama-nama jalan Jayapura diganti dengan nama-nama yang identik dengan orang Papua.

"Pemerintah buat orang Papua kehilangan jati diri, jadi saya akan mengusulkan kepada Pemkot Jayapura untuk menggantikan nama-nama jalan seperti Kota Raja, Cigombong dan sebagainya. Kenapa? Karena kalau kita biarkan ini, sama saja kita tidak menghargai para leluhur kita dan biarkan jati diri kita sebagai orang Papua hilang," ungkap Yoman di kediamannya, Kota Raja, Jayapura, beberapa waktu lalu. 

Menurut Yoman, nama-nama benda bersejarah serta tempat yang bersejarah telah ada di Papua, sehingga nama-nama tersebut akan menjadi aspirasi kepada pemerintah.

"Kita ini seolah-olah kehilangan jati diri, padahal di Papua ini orang-orang tua kita punya nama-nama benda bersejarah dan nama-nama tempatnya juga sudah ada. Jadi, ini akan menjadi aspirasi kami untuk sampaikan kepada pemerintah agar segera menggantikan nama-nama yang diadopsi dari daerah lain. Ini cara kita untuk menghormati para leluhur," sambung pria yang menulis lebih dari 5 buku ini.

"Ini salah satu bagian dari kebenaran, jadi saya akan sampaikan kebenaran ini karena soal kebenaran tidak dilarang Alkitab. Sebagai umat Tuhan, saya akan menyuarakan kebenaran di atas Tanah Papua." (Hendrikus Yeimo/MS)

Sumber :www.majalahselangkah.com

HUT AMP XVI: Membangun Nasionalisme Papua, Kobarkan Semangat Perjuangan

Posted by Unknown | Sunday, July 27, 2014 | Posted in , , , , ,

Logo AMP
Yogyakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) hari ini, Minggu (27/07/2014) merayakan Hari Ulang Tahun yang ke XVI setelah berdiri pada tahun 1998 di Jakarta. Pada ulang tahun kali ini AMP di seluruh Indonesia menggelar kegiatan di masing-masing kota studi. 

Di Yogyakarta misalnya, perayaan ulang tahun dilakukan dalam bentuk ibadah singkat yang dipimpin oleh Ibu B. Wompere di Aula Asrama Papua, Kamasan I, dengan mengusung tema "Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua Barat".  

Dalam khotbahnya Ibu B. Wompere mengajak mahasiswa untuk membangun persatuan yang kuat serta menjadi panutan bagi rakyat Papua. 

"Mahasiswa adalah ujung tombak dari rakyat, sehingga harus semangat dalam memperjuangkan serta membangan persatuan yang kuat. Tak hanya itu, mahasiswa juga perlu menjadi panutan bagi masyarakat," kata Ibu Wompere. 

AMP akui saat ini rakyat Papua Barat sedang berada dalam kekuasaan kolonialisme, imperalisme global serta militerisme kolonial Indonesia membuat kehidupan rakyat Papua berada dalam bayang-bayang kehancuran, sehingga bangkit berjuang dan rebut kembali kemerdekaan yang pernah dirampas oleh negara Indonesia adalah hak mutlak bagi rakyat Papua.

"Kita tingkatkan eksistensi Mahasiswa Papua dengan membangun ideologi dan nasionalisme Papua dalam pribadi mahasiswa untuk membangun semangat dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Papua Barat secara demokratis," kata Jefri Wenda, ketua AMP komite kota Yogyakarta kepada majalahselangkah.com usai ibadah. 

"HUT AMP kali ini menggelar ibadah sebagai bentuk ucapan syukur atas pertolongan yang diberikan Tuhan selama ini, serta kami berharap Tuhan juga akan membuka jalan dalam perjuangan kami ke depan untuk menyuarakan kebenaran melawan negara kolonial yang masuk ke Papua seperti pencuri," sambung Wenda.

Pantauan majalahselangkah.com, ibadah AMP yang diikuti mahasiswa Papua berlangsung aman dan lancar. (Yohanes Kuayo/MS)

BOIKOT PROKLAMASI 17 AGUSTUA 2014 DI PAPUA BARAT

Posted by Unknown | Saturday, July 26, 2014 | Posted in , , , , , ,

Keberhasilan boikot Pilpres Indonesia diatas teritori West Papua adalah manifestasi dari sikap anti kolonialisme yang dilakukan secara sadar oleh rakyat West Papua. Boikot kita selanjutnya adalah terhadap perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-69 diatas teritori West Papua.
Sudah setengah abad lebih kita dipaksa memiliki ideologi dan nasionalisme Indonesia yang tidak pernah diwariskan atau dilahirkan oleh leluhur kita. Kita tahu, kita tidak pernah dimasukan, apalagi ikut serta, dalam sejarah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Bangsa Papua tidak pernah ada dalam sejarah pembentukan negara yang bernama Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya kita bersikap menolak! Menolak segala menipulasi dan hegemoni kolonial Indonesia.
Kami menyeruhkan kepada rakyat West Papua, yang ada diatas teritori West Papua, maupun diluar West Papua, agar tidak ikut serta menyukseskan, apalagi merayakan, kemerdekaan Indonesia. Sebagai bangsa yang bermartabat, kita juga tetap menghargai dan tidak mengganggu perayaan kemerdekaan mereka (bangsa Indonesia) pada 17 Agustus mendatang. Dan sebaliknya, Indonesia harus menghargai sikap bangsa Papua untuk boikot HUT RI di West Papua.
Kami menyerukan kepada segenap rakyat West Papua agar mengajak dan mengajar kebenaran sejarah kepada sesama keluarga, suku dan bangsamu bahwa bangsa Papua memiliki sejarah kemerdekaannya sendiri tanpa Indonesia. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dihasut, dibodohi, atau disogok untuk terlibat secara terus menerus dalam perayaan kemerdekaan 17 Agustus.
Sudah waktunya kita menunjukkan sejarah yang benar kepada penguasa kolonial Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia bahwa bangsa Papua siap untuk bernegara sendiri, berlandaskan pada ideologi dan nasionalismenya sendiri. Penolakan terhadap pendudukan kolonial Indonesia dan segala praktek penjajahannya harus dilakukan dengan sikap boikot tanpa kekerasan.
Kita harus mengakhiri!
Dikeluarkan di Port Numbay, 19 Juli 2014

Victor F. Yeimo
Ketua KNPB


Tembusan kepada:
1.           Buchtar Tabuni, Ketua Parlemen Nasional West Papua [PNWP]
2.           Ketua-Ketua Parlemen Rakyat Daerah di West Papua
3.           Benny Wenda, Koordinator Diplomat Internasional bagi West Papua
4.           Goliat Tabuni, Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN.PB)







The Guardian Draws Attention To Colonial Attitude Towards West Papua

Posted by Unknown | Monday, July 21, 2014 | Posted in , , , , ,

In an article published on 15 July 2014 in The Guardian, Morgan Godfery draws attention to the exploitation and colonial attitude of Indonesia towards West Papua – a mineral rich region annexed by Indonesia in 1960, without the consent of its indigenous population. Mentioning recent arrests and ill-treatment of West Papuans handing out leaflets encouraging a boycott of last week’s presidential election, the article refers to UNPO who strongly supports the right to self-determination of the Papuan people through advocacy, diplomacy and nonviolent action.
Below is the article published in The Guardian :

Orwell would recognise the logic of postcolonialism at play in West Papua.

In many respects, the West Papuan struggle is the story of Indigenous peoples the world over: exploitation.
Few people know that George Orwell, better known as the author of the dystopian novel 1984, is one of the earlier founders of postcolonial studies. Orwell’s best known contribution to the field is Burmese Days, but his earliest contribution was How a Nation Is Exploited – The British Empire in Burma. Published in the French journal Le Progrรจs civique, Orwell describes how the land, labour and resources of one country – that is, Burma - are used to finance the industrial development of another – in this case, Britain. Care is taken to avoid technical and industrial training [in Burma]. This rule, observed throughout India, aims to stop India from becoming an industrial country capable of competing with England. 
The role of the colony, then, is under-development for the sake of the coloniser’s development. This is the logic of colonialism.
One might think this is merely of historical interest. If only. There is a newly industrialised country on our doorstep and it is using a colony to finance its growth. Orwell would recognise the coloniser – Indonesia – and the logic of colonialism in the West Papua region.
Indonesia annexed West Papua in the 1960s. Thus began and thus continues the deadliest postcolonial struggle in Oceania. In the past half century the Indonesian security forces have killed as many as 500,000 West Papuans. Last year the Asian Human Rights Commission released. The Neglected Genocide, a report on atrocities committed in 1977 and 1978. Survivors describe how they escaped the killing fields while others recount their run-ins with the torture squads. Violence wasn’t just something that happened in West Papua, it was a form of government. One would hope that, some 40 years later, things have improved. It doesn’t seem so. According to the Free West Papua Movement a local independence leader was shot dead on his motorcycle in June. The UNPO reports that local democracy activists have been beaten and arrested for handing out leaflets encouraging West Papuans to boycott last week’s presidential election. In the run up to the election the security forces were put on full alert.
But why does Indonesia cling to West Papua? The basis of Indonesia’s claim to sovereignty is the farcical Act of Free Choice”in 1969. The act was a nominal referendum where a little over 1000 men – less than 1% of the eligible voting population - agreed to transfer sovereignty to Indonesia. The result was controlled - an act of forced choice – with the military carefully selecting and coercing the participants. The Indonesian government has exercised its claim to sovereignty at the end of an assault rifle ever since.
But that claim is only a convenience. West Papuans are ethnically Melanesian and geographically part of Oceania – Jakarta acknowledges this much – but, importantly, the West Papua region is home to the world’s largest goldmine, third largest copper mine and rich mineral deposits. Freeport-McMoRan, the American company that operates the Grasberg mine, is Indonesia’s largest taxpayer. The company has contributed more than $12 billion to Jakarta’s coffers since 1991. Rather than relying on private security at the mine, Freeport-McMoRan pays the Indonesian security forces. Jakarta is happy to oblige.
Orwell would recognise the logic of colonialism here. West Papua has largely missed the Indonesian industrial revolution, instead being compelled to finance it. In many respects the West Papuan struggle is the story of Indigenous peoples the world over: exploitation.
Former Australian prime minister Robert Menzies warned of as much in the 1960s when he said that Indonesian control of West Papua would merely substitute white colonialism for “brown colonialism”. We did not listen then, will we listen now?

SAUL BOMAY: NFRPB BAGIAN DARI INDONESIA

Posted by Unknown | | Posted in , , , ,

Yusak Pakage dan Saul Bomay (Jubi/Aprila)
Jayapura, 20/7 (Jubi) – Mantan Tahanan Politik (Tapol), Saul Bomay yang mengklaim diri sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) menganggap Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sebagai negara bagian dari Republik Indonesia.
“Forkorus Yaboisembut Cs adalah teman seperjuangan saya dengan perahu yang berbeda. Perjuangan NFRPB adalah perjuangan lain. Kami inginkan kemerdekaan dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berbeda dengan mereka karena negara federal berarti masih sebagai bagian dari Indonesia, sama halnya dengan daerah otonom,” ungkap Saul dalam jumpa pers yang digelar di Prima Garden Caffee, Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (19/7).
Menurut Saul, perjuangan yang murni adalah perjuangan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), sedangkan organisasi yang lain kemungkinan besar masih ada yang menyusup dengan kepentingan politik yang berbeda.
Saul mengharapkan kepada seluruh organisasi seperjuangan untuk merapatkan barisan dan kembali bergabung dengan TPN-OPM karena garis perjuangan TPN-OPM.
Senada dengan Saul, Yusak Pakage yang juga mantan Tapol Papua menegaskan, kalau NFRPB, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Parlemen Jalanan (Parjal) dan elemen-elemen gerakan lain yang ada saat ini sudah tidak lagi murni untuk memperjuangkan Papua Merdeka.
“Stop tipu masyarakat Papua. Sekarang perjuangan organisasi- organisasi pro Papua merdeka sudah banyak penyusup, baik dari TNI, maupun Polri, termasuk pada NFRPB. Saya sudah kasih tahu mereka di facebook untuk stop bicara Papua merdeka. Kalau mau perjuangan murni, mari rapatkan perjuanagan dengan TPN-OPM,” ajak Yusak.

Menurut Yusak, kalau mau cari pekerjaan langsung saja bicara dengan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe atau ketemu langsung dengan pemerintah Indonesia yang menurutnya pasti akan diberi pekerjaan oleh pemerintah. (Jubi/Aprila)

PEPERA 1969 TIDAK DEMOKRATIS! HAK MENENTUKAN NASIB, SOLUSI BAGI RAKYAT PAPUA

Posted by Unknown | | Posted in , , , , , , , , ,

Jayapura, 21/7 (Jubi) – Press Release ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]
“PEPERA 1969 Tidak Demokratis!!! Hak Menentukan Nasib Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”
Aksi mahasiswa Papua di depan Patung Kuda
 Jalan Pahlawan Kota Semarang (IST)
Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.
Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Praktek yang kemudian diterapkan Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi prokemerdekaan Papua. Militer menjadi tameng yang reaksioner dan kesenjangan sosial/kesejahteraan menjadi alasan untuk menutupi aspirasi kemerdekaan rakyat Papua dari pandangan luas rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional.
Didasari kenyataan sejarah akan hak politik rakyat Papua yang dibungkam dan keinginan yang mulia rakyat Papua untuk bebas dan merdeka diatas Tanah Airnya, maka dalam peringatan 44 tahun PEPERA yang tidak demokratis, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut rezim fasis SBY-Boediono dan PBB untuk segera ;

- Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
- Menutup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
- Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.

Demikian press release ini dibuat, kami akan terus menyuarakan perlawanan atas segala bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan Tanah Air Papua hingga rakyat Papua memperoleh kemenangan sejati. Atas kerja sama Kawan-kawan jurnalis untuk memberitakan aksi ini, kami ucapkan jabat erat.
Salam Demokrasi!
Semarang Selasa 15 Juli 2014
Jubir Aksi
Bernardo Boma
Cacatan
Semarang Puluh Mahasiswa Papua yang  tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kota Semarang, menggelar aksi damai hari ini, Selasa (15/Juli/2014), Depan Patung Kuda Jalan Pahlawan Kota Semarang jawa 10 balik jam 12.00 . Aksi damai ini dilakukan guna memprotes pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis dan cacat hukum Internasional.
Kordinator aksi Johanis Tsenawatme

Sumber : www.tabloidjubi.com

MAMA PAPUA DIHADANG, DIPUKUL & DITANGKAP OLEH POLISI

Posted by Unknown | Friday, July 18, 2014 | Posted in , , , , , , , , , , ,

Mama-mama Papua sempat dipukul ditendang dan dihadang oleh pihak kepolisian Indonesia , saat  Mama-mama Papua sedang mengikuti Aksi damai Nasional yang dimediasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Wilayah Bomberay. Pada  Kamis (17/07/2014).

Aksi damai tersebut, polisi menghadang mama-Papua dan  Lima orang mama  ditangkap bersama anak-anaknya usia dibawah dua tahun, dan dipukul pakai popor senjata oleh Polisi.

Salah satu mama Papua sempat mengakui bawah, kami benar-benar di pukul  datangkap depan pasar SP 02, Kemudian Polisi dan Intel membawah kami ke Polres  Mimika Mil 32, jalan Agimuga No. 3 Timika. Untuk pemeriksaan.

“Dalam Proses pemeriksaan kami sempat diancam dan dicaci maki oleh pihak kepolisian, lalu kami juga memberikan keterangan sesuai dengan  apa yang polisi mau” Ungkap  salah satu mama Papua kepada KNBPBNews Timika.

Lanjut, mama Papua dengan tidak senang dengan tindakan Polisi yang memukul kami dengan Alat Negara yakni Senjata, kami tahu bahwa senjata adalah alat Negara, tetapi dilapangan tidak seperti itu. Polisi menggunakan senjata untuk memukul kami dan memukul kita semua yang ditahan sebanyak 25 orang baik perempuan maupun laki-laki.

25 aktivis Knpb yang ditahan oleh polisi terdiri dari  Lima Orang mana Papua yaitu, 1. Diana Wenda, 2. Eliana Tabuni, 3. Amerina Tabuni, 4. Lepina Wenda, Merlin Wenda.

“Dalam aksi Damai Nasional Wilayah Bomberai banyak mama-mama Papua yang mengambil bagian dalam aksi tersebut”. Tujuan bersama untuk memnyampaikan aspirasi rakyat Papua.

Ini tuntutan aksi pertama,  Indonesia segerah membuka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat Papua, untuk mementukan nasib sendiri melalui mekanisme “Referendum”,

Yang kedua, Indonesia segerah bebaskan Tahanan Politik (Tapol) Narapidana Politik (Napol) Papua merdeka seperti Victor Yeimo  (Ketua Umum KNPB)  , dan Filep Karma Aktivis Papua merdeka, serta aktivis Papua merdeka lainnya.

Kemudian yang Ketiga adalah Polda Papua  segerah Hapuskan Daftar Pencarian Orang (DPO) seperti Ketua Umum Parlemen Nasional West Papua (PNWP) Tn. Buctar Tabuni dan aktivis Papua merdeka lainnya. (Un/Son T)

Sumber: KnpbnewsTimika

Foto-Foto;






BACA SELENGKAPNYA LINK DIBAWAH INI;
http://www.malanesia.com/2014/07/kronologis-lengkap-aksi-damai-knpb-prd.html
http://www.umaginews.com/2014/07/kronologis-aksi-damai-militer-indonesia.html
http://www.taringpapuanews.com/2014/07/tahanan-politik-ketua-sektor-sp-13.html
http://www.malanesia.com/2014/07/kesaksian-kejahatan-tni-polri-terhadap.html
http://majalahselangkah.com/content/-demontrasi-pembebasan-tapol-dan-refrendum-di-timika
http://www.umaginews.com/2014/07/22-orang-aktivis-knpb-prd-wilayah.html
http://majalahselangkah.com/content/-polres-mimika-bebaskan-aktivis-knpb-mimika-lison-tabuni-bersatu-untuk-rebut-kedaulatan
http://www.umaginews.com/2014/07/aksi-dan-pernyataan-politik-menyikapi.html
http://www.taringpapuanews.com/2014/07/penangkapan-aktivis-knpb-dan-tuntutan.html
http://www.taringpapuanews.com/2014/07/23-aktivis-knpb-dibebaskan-ketua-sektor.html
http://www.umaginews.com/2014/07/jutaan-rakyat-timika-menuntut-segerah.html
http://majalahselangkah.com/content/-demontrasi-pembebasan-tapol-dan-refrendum-di-timika
http://www.umaginews.com/2014/07/jutaan-rakyat-timika-menuntut-segerah.html
http://www.umaginews.com/2014/07/besok-aksi-damai-nasional-wilayah.html


DPR Akui Aksi Bermartabat Tapi TNI/POLRI Menutupi Ruang Demokrasi dan 24 Aktifis KNPB Timika Ditangkap.

Posted by Unknown | | Posted in , , , , , , , , , , , ,

TNI/POLRI bungkam Demokrasi di Timika-papua (Doc.KNPB)
Timika, KNPBNews – Pihak Milter Republik Indonesia dalam hal ini TNI/POLRI terus berjuang untuk menutup ruang demokrasi di seluruh Tanah Papua Barat terutama di kota Timika. Sementara DPRD dan Pemerintah Indonesia mengakui Aksi ini adalah aksi bermartabat.

Setelah Pihak kepolisian terima surat pemberitahuan Aksi Jalan Ruben Kayun ditangkap saat bagi Selebaran itu dikeluarkan kemarin jam, 08.00 malam. Menurut Ruben Kayun, “ Saya diejek, disiksa dan diolok-olok sampai malam mereka antar saya di rumah perjalanan saya itu polisi foto-foto saya kaya artis, dan sampai di rumah juga mereka foto-fot tempat tidur saya, dapur dan luar dalam semua.” Katanya saat persiapan untuk turun jalan aksi.

Setelah Ruben Kayun dikeluarkan 24 Aktifis KNPB dari SP-SP ditangkap di SP 2 Jalan Karitas dan sampai saat ini mereka ada di POLRES Mile 32. Ke-22 aktifis yang ditangkap ini saat TNI?POLRI dan Intelijen menangkap mereka, ditendang, dipukul, diinjak sampai hari ini ada yang bengkak muka meraka.

Sementara itu masa dari SP 5, SP 6, SP 7, SP 12, Yayanti, SP 13, ILIALE, SP 3, SP 2 dihadang oleh TNI/POLRI dan 24 Aktifi KNPB di tangkap dan ada di POLRES Mimika, Berikut nama-nama mereka yaitu 1. Dotius Wanimbo, 2. Neles, 3. Sem, 4. Marius Wenda, 5. Bilem Wenda, 6. Nius Tabuni, 7. Sole Tabuni, 8. Ismael Wenda, 9. Lasarus Tabuni, 10. Linto Tabuni, 11. Efri, 12. Lerina, 13. Lepina, 14. Tinggris umur 3 tahun, 15. Eliana Tabuni, 16. Diana Wenda, 17. Aifa Tabuni 3 tahun, 18. Merlin Wenda, 19. Jakson umur 2 tahun, 20. Amarina Tabuni. 21. Eka Wenda. 22. Herman. 23. Yulianus 24. Hengki.

Setelah mendengar penangkapan 21 Aktifis KNPB Wilayah Timika, Parlemen Rakyat Daerah Mimika bersama Komite Nasional Papua Barat Wilayah Timika menggelar Rapat Darurat dalam rangka menyikapi penangkapan itu. Dan dalam rapat itu memutuskan bahwa:

  1. Mereka akan menelpon KAPOLRES mimika
  2. kalau tidak dikeluarkan pihak KNPB dan PRD akan turun Jalan sampai ke Markas Kepolisian di Mile 32.

Semua yang ditangkap dan tending, diinjak-injak dan dipukul sampai ada yang luka-luka, dipukul juga denga pucuk senjata.

Mau ambil video dan gambar Pihak TNI/POLRI dan Brimob pukul dan kejar-kejar juga semua wartawan.

Dan Ketua Bidang Media dan Propaganda Komisariat Diplomasi KNPB Wilayah Timika juga sempat dapat diancam, dan dikejar. Dan sampai saat ini ke-24 aktifis KNPB Wilayah timika masih ditahan POLRES Mile 32 Timika.
 
TNI/POLRI saat hadang dan tangkap 24 aktifis KNPB Timika

80 % Tidak Coblos, Boikot Pilpres Di West Papua Sukses

Posted by Unknown | | Posted in , , , , , , , , ,

Jayapura, KNPBnews – Pemilihan Presiden diatas teritori West Papua terlihat sepih dari keikutsertaan rakyat West Papua. Diprediksi, sekitar 80% suara rakyat West Papua tidak ikut mencoblos alias memboikot pemilihan yang berlangsung di hampir semua daerah di tanah Papua.
Menurut pantauan crew media online ini, rakyat West Papua, yakni orang asli Papua, tidak ikut mencoblos di hampir semua Tempat Pencoblosan Suara (TPS) diatas tanah Papua. Hanya berkisar 20% yang terlihat mencoblos.
“Kami memang mendapat laporan dari masyarakat langsung maupun dari pantauan anggota kami bahwa rata-rata 20% partisipasi orang asli Papua di setiap TPS dan yang lain kebanyakan orang pendatang, “kata Bozoka Logo, Juru Bicara KNPB kemarin.
Rakyat West Papua benar-benar mengikuti himbauan dan seruan dari pemimpin-pemimpin perjuangan. Seruan-seruan melalui selebaran selama ini untuk boikot Pilpres diterima hingga ke pelosok tanah Papua.
Ketua Parlemen Nasional West Papua, Buchtar Tabuni sebelumnya memprediksi 80% rakyat West Papua akan memboikot. “Intruksi saya telah dilaksanakan oleh KNPB dan PRD dan hasilnya sesuai dengan prediksi kita kemarin”, kata Buchtar Tabuni dari tempat persembunyiannya.
Menurut Bazoka Logo, rakyat Papua telah mengajar demokrasi yang benar kepada seluruh dunia melalui boikot Pemilu, karena pilihan politik itu tidak bisa diberikan sembarangan, apalagi kepada penguasa yang sedang menjajah.
Sementara itu, Pemimpin Papua Merdeka dan juga Koordinator Diplomat Internasional untuk West Papua, tuan Benny Wenda jauh-jauh sebelumnya telah menyeruhkan rakyat West Papua untuk memboikot Pemilu diatas tanah Papua.
Selain Benny Wenda,  sebelumnya pemimpin Perjuangan yang kini mendekam di balik jeruji penjara Abepura seperti Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB), Forkorus Yaboisembut (Ketua Dewan Adat Papua), Fileb Karma (Tahanan Politik Hati Nurani) juga telah menghimbau rakyat agar memboikot Pilpres dengan cara damai.
Kepada media kemarin, Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo menyampaikan pesan berikut ini:
Terima kasih kepada rakyat West Papua, bahwa hari ini kita buktikan 80% rakyat West Papua tidak berpartisipasi secara sadar dalam Pemilu Presiden Kolonial Republik Indonesia. Kita telah berhasil membuat “pesta demokrasi” kolonial menjadi sunyi dari partisipasi kita. Kita telah membuktkan bahwa kita bukanlah bangsa yang tunduk dan patuh pada penguasa yang terus menindas kita.
Bagi yang terpaksa dan dipaksa memilih, atau bagi yang turut suksesi dan memilih, kami memakluminya sebagai bagian dari hak masing-masing pribadi, tetapi juga bagian dari korban hegemoni kolonialisme. Kepada mereka, kami menyampaikan agar tetap menyadari bahwa hak politik kita dalam Indonesia tidak akan pernah berarti bagi keselamatan bangsa Papua sepanjang hak penentuan nasib sendiri belum terpenuhi.
Sumber :  http://knpbnews.com

Mayoritas Rakyat PAPUA Nayatakan REFERENDUM Bagi WEST PAPUA

Posted by Unknown | Thursday, July 10, 2014 | Posted in , , , , , , , ,

Bagan Perhitungan Suara di Yogyakarta [Doc  AMP]
Yogyakarta - Indonesia kembali menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) yang ke sekian kalinya pada tanggal 9 Juli 2014 guna menentukan orang yang akan berkuasa di Indonesia, selama kurun waktu 5 tahun ke depan, untuk itu, jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Pilpres, Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Pemerintah Indonesia dan jajaran TNI-POLRI telah menghimbau kepada seluruh elemen rakyat Indonesia untuk ikut memberikan suaranya dalam menentukan Presiden yang akan berkuasa di negara ini selama 5 tahun mendatang.

Namun seruan yang dikeluarkan oleh KPU, Pemerintah Indonesia dan TNI-POLRI ini, nampaknya tidak berarti apa-apa bagi Rakyat Papua, tak dan Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di daerah Jawa - Bali. Jauh-jauh hari sebelum pergelaran Pileg dan Pilpres Indonesia, tokoh-tokoh Pejuang Papua justru lebih awal mengeluarkan pernyataan dan seruan kepada seluruh elemen Rakyat Papua untuk menggelar BOIKOT Pemilu Indonesia, di seluruh tanah Papua. Seruan Boikot yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh Papua ini bukan tanpa alasan, selain untuk memperjelas status Politik Bangsa Papua yang terpisah dari Indonesia, seruan ini juga dikeluarkan guna memberikan tekanan kepada kolonial Indonesia yang masih terus menjajah dan menduduki Papua hingga saat ini.

Seruan Boiko yang dikeluarkan oleh tokoh-toko pejuang kemerdekaan West Papua ini pun mendapatkan respon positif dari hampir seluruh elemen rakyat Papua, namun dengan cara yang berbeda-beda. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mengadakan Pemilu atau Penentuan Pendapat untuk menentukan pilihan, antara Indonesia atau Referendum Untuk WEST PAPUA, seperti yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di daerah Jawa - Bali, yang dikoordinir oleh Aliansi Mahasiswa Papua [AMP].

Di Yogyakarta, ratusan mahasiswa Papua yang sedang menimbah ilmu di kota gudek ini, pada tanggal 9 juli 2014 jam 09:15, berkumpul di Asrama Mahasiswa Papua "Kamasan I" Yogyakarta, guna ikut menentukan pilihan mereka atas nasib Bangsa PAPUA ke depan. Kegiatan pemilihan yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] ini nampaknya mendapatkan perhatian yang sangat tinggi dari mahasiswa Papua yang ada di yogyakarta. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah Mahasiswa Papua yang hadir di lokasi pemilihan guna ikut memberikan suaranya untuk menentukan REVERENDUM or Indonesia. Karena banyaknya jumlah Mahasiswa yang hadir, kertas suara yang telah disiapkan oleh AMP tidak cukup, dan akhirnya mahasiswa yang tidak kebagian surat suara, hanya memberikan tanda tangan dukungan mereka saja.

Dari hasil penentuan pendapat yang dilakukan di Yogyakarta, 99% Mahasiswa Papua yang hadir menyatakan pendapat REFERENDUM bagi WEST PAPUA, dan hanya satu suara saja yang menyatakan mendukung Indonesia.

Dari hasil pemilihan atau penentuan yang diperoleh, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] bersepakat menyatakan bahwa mayoritas Rakyat PAPUA bersepakat untuk REFERENDUM bagi Bangsa PAPUA, dan untuk itu, AMP mendesak PBB untuk segera menggelar REFERENDUM di WEST PAPUA.

Tidak hanya di Yogyakarta, hal yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa Papua di beberapa kota seperti di Solo, Semarang, Bandung, Surabaya dan Bali. Selain itu di tanah Papua sendiri, Rakyat Papua dibawah koordinasi Parlemen Nasional West PAPUA (PNWP) menggelar hal yang sama pula. Dan dari informasi yang berhasil kami himpun, menyebutkan bahwa mayorita rakyat Papua yang terlibat menyatakan pendapat yang sama, yaitu "REFERENDUM Bagi WEST PAPUA".

PPC Iklan Blogger Indonesia

"Suara Kaum Tertindas"

Powered by Blogger.

Follow Us On Facebook

I heart FeedBurner

    Blog Archive